Wa'ilah Isteri Nabi Luth Mati Dalam Kesesatan
Monday, June 18, 2007 — danangekonuryantoAllah membuat isteri Nuh dan isteri Luth menjadi  perumpamaan bagi orang-orang yang ingkar. Keduanya berada di bawah  pengawasan dua orang hamba yang soleh di antara hamba-hamba Kami, lalu  kedua isteri itu berkhidmat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya  itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksaan) Allah; dan  dikatakan (kepada keduanya).” Masuklah ke neraka bersama orang-orang  yang masuk (neraka).” (At-Tahrim: 10)
Dalam perjalanan hidup seorang nabi, apabila ia  mendapati kebenaran yang datang dari Allah, keluarga terdekatnyalah  yang terutama mesti ia seru terlebih dahulu. Orang yang paling dekat  dengannya tentu saja memperoleh kesempatan paling besar untuk menerima  seruannya. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan isteri Nuh dan  anaknya. Meskipun keduanya adalah orang-orang yang paling dekat dengan  beliau, mereka termasuk golongan yang ingkar akan kebenaran Allah dengan  enggan beriman.
Begitu pula wanita yang satu ini, isteri salah  seorang dari nabi Allah, yakni isteri Luth as. Luth adalah seorang nabi  dan rasul yang diutus oleh Allah kepada kaumnya di Sadom, sebuah negeri  besar yang mempunyai banyak kota, sedangkan penduduknya tenggelam dalam  arus kemaksiatan. Rakyat Negeri Sadom ketika itu berserikat dan  bahu-membahu dalam perbuatan dosa yang mengaibkan.
 Nabi Luth diperintahkan oleh Allah untuk  menyampaikan risalah-Nya kepada kaumnya itu, termasuk kepada isterinya  sendiri. Berkata Nabi Luth kepada mereka seraya mengingatkan: “Mengapa  kamu melakukan perbuatan tercela itu, yang belum pernah dikerjakan oleh  seorang pun di dunia ini sebelummu? Kamu mendatangi lelaki untuk  melepaskan nafsumu, bukan kepada wanita. Bahkan kamu ini adalah kaum  yang melampaui batas.” (Al-A’raf: 80-81)
Memang, kaum Nabi Luth ketika itu berada pada  tingkat kebinatangan yang paling rendah, kebejatan akhlak yang paling  parah, dan tidak ada manusia seburuk mereka sebelumnya. Mendengar seruan  Nabi Luth, seruan seorang nabi Allah yang juga pernah didengar oleh  kaum-kaum lain sebelum mereka, rakyat Negeri Sadom merasa terusik  kesenangannya. Mereka tidak tinggal diam setelah mendengar seruan  kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Luth. Mereka terus berfikir,  mencari jalan bagaimana agar Nabi Luth tidak dapat mengumandangkan  seruannya kembali. Ketika, mereka tengah duduk berfikir, tiba-tiba  datang seorang perempuan tua menghampiri mereka. Sebenarnya, sudah lama  perempuan tua itu mendengar rencana kaum Luth itu, dan ia tersenyum  bangga mendengar rencana itu.
 “Akan kutunjukkan kepada kalian, suatu lubang  yang dapat menghalangi seruan Luth,” ujar perempuan tua itu dengan wajah  penuh keyakinan. “Lubang yang mana itu?” tanya mereka dengan keinginan  yang penuh harap.
 “Tidak akan kukatakan hal itu, kecuali aku mendapat sekeping perak sebagai upahnya,” sahut si perempuan tua. Tak seorangpun dari keturunan kaum Luth itu yang  merasa marah atau heran mendengar ucapan perempuan tua yang terkenal  mata duitan dan sifat lobanya itu. Salah seorang dari mereka memasukkan  tangannya ke dalam sakunya; kemudian mengambil sekeping perak dan  diberikannya kepada perempuan tua itu. Dengan senyum kemenangan,  perempuan tua itu cepat mengambil dan menyembunyikan kepingan perak itu  di dadanya. “Kalian dapat membatalkan seruan Luth melalui isterinya!”  Kata perempuan itu kemudian.
 Terbelalaklah mata kaum Luth ketika mendengar  ucapan itu. Mereka semakin mendekatkan telinga masing-masing ke mulut  perempuan penipu itu dengan penuh harapan.
“Bagaimana caranya?” Tanya mereka serentak. “Kalian harus bekerjasama dengan isteri Luth untuk menghentikan seruannya kepada kalian.”
Dengan kesal, salah seorang dari mereka berteriak. “Kami tidak ada urusan dengan isteri Luth!”
 Dengan wajah marah, perempuan tua itu kembali berkata: “Aku lebih mengerti hal itu daripada kalian!”
“Kalau begitu,” sela salah seorang yang lain. “Apa peranan isteri Luth dalam hal ini?”
“Dengar baik-baik. Peranan isteri Luth sama seperti perananku bagi kalian sekarang ini,” jawabnya.
“Jadi, apakah kamu berharap agar isteri Luth dapat  menunjuki kami, siapa orang-orang yang dapat memenuhi keinginan kami,  sebagaimana yang engkau lakukan kini?” tanya salah seorang dari mereka.  Dengan kedua mata yang bersinar, disertai kegembiraan haiwani, perempuan  tua berlalu sambil bergumam, “Ya… ya…”
Isteri Nabi Luth sedang menyelesaikan  sebahagian pekerjaannya ketika terdengar pintu rumahnya diketuk orang.  Segera ia berlari, membukakan pintu. Dan seorang perempuan tua tiba-tiba  berada di hadapannya. Dengan tergopoh-gopoh perempuan tua itu lalu  berkata: “Hai, anakku, adakah seteguk air yang dapat menghilangkan  dahaga yang kurasakan ini?”
 “Silakan masuk dahulu,” jawab Wa’ilah, isteri Nabi Luth, dengan lembut.” Akan kuambilkan air untukmu.”
 Perempuan tua itu kemudian duduk menunggu,  sementara Wa’ilah masuk ke dapurnya. Tak lama kemudian, Wa’ilah kembali  dengan membawa bekas yang penuh berisi air untuk tamunya itu. Dengan  lahap, si perempuan tua segera meneguk habis air di bekas tersebut, dan  kemudian melepas nafas dengan lega.
“Kami hidup bersama suamiku, Luth namanya, dan dua anak perempuanku,” jawab Wa’ilah.
Perempuan itu kemudian memalingkan wajahnya ke  sekeliling rumah yang kecil itu, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya  seakan-akan prihatin akan apa yang dilihatnya. Dengan wajah yang  memperlihatkan kesedihan, perempuan tua itu berkata: “Aduhai, apakah  kesengsaraan menimpamu, Anakku?”
“Aku tidak sengsara, bahkan rumah ini cukup bagi  kami, dan aku mempunyai suami yang memberiku makan dan minum bersama  kedua puteriku,” jawab Wa’ilah.
Perempuan tua penipu itu lebih mendekat kepada  isteri Nabi Luth sambil berkata: “Dapatkah ruangan seperti ini disebut  rumah? Dapatkah yang engkau teguk dan engkau rasakan ini disebut makanan  atau minuman?”
 Wa’ilah terpegun mendengar ucapan perempuan tuan  itu. Dengan penuh keheranan, ia kemudian bertanya. “Kalau begitu, apa  yang selama ini kumakan dan kuminum?”
Cepat-cepat perempuan tua itu berkata: “Panggillah  aku dengan sebutan ibu. Bukankah kedudukanku seperti ibu saudaramu?”  Kemudian ia menyambung lagi. “Sesungguhnya semua ini adalah kemiskinan  dan kesengsaraan hidup yang membawa kemalangan bagimu, hai anakku.  Mengapa kamu tidak masuk ke rumah orang-orang kaya di antara kaummu.  Tidakkah kamu melihat kehidupan mereka yang penuh kemegahan, kesenangan,  dan kenikmatan…? Kamu berparas cantik, hai anakku. Tidak layak kamu  membiarkan kecantikanmu itu dalam kemiskinan hina begini. Tidakkah kamu  sedari bahwa kamu tidak mempunyai anak lelaki yang dapat bekerja untuk  memberimu makan kelak apabila suamimu meninggal dunia?”
 Wa’ilah, isteri Nabi Luth, mendengarkan dengan  saksama semua ucapan perempuan tua itu. Ya, ucapan itu telah membuatnya  terlena sambil merenung atap rumahnya. Sesekali ia perhatikan perempuan  tua yang semakin mengeraskan suaranya yang penuh nada kesedihan dan  kedukaan. Dalam lamunannya itu, tiba-tiba Wa’ilah merasakan pelukan  perempuan tua itu di bahunya.
 Ketika perempuan tua itu menghentikan  pembicaraannya, isteri Nabi Luth memandang kepadanya sambil berusaha  meneliti kalimat-kalimat yang baru didengarnya. Tetapi si perempuan tua  tidak memberinya kesempatan untuk berfikir, bahkan ia mulai menyambung  pembicaraannya dengan berkata: “Hai, anakku, apakah yang dikerjakan  suamimu? Bagaimana hubungannya dengan penduduk Negeri Sadom dan  kampung-kampung kecil di sekelilingnya?
 Sesungguhnya orang-orang di sini menginginkan  sesuatu yang dapat menyenangkan hati mereka sesuai dengan yang mereka  kehendaki. Dan sesuatu yang dicarinya itu dapat menjadi sumber  penghasilan dan kekayaan bagi orang yang mahu membantu mereka. Lihatlah!  Lihatlah, hai anakku, kepingan-kepingan emas dan perak ini!  Sesungguhnya emas dan perak bagiku adalah barang yang mudah kuperolehi.  Aku menunjukkan kepada kaumku beberapa lelaki berwajah `cantik’ yang  datang dari kota. Sedangkan kamu… di rumahmu sering datang beberapa  pemuda dan remaja lelaki kepada suamimu.
 Ya, suamimu yang seruannya diperolok-olok oleh  kaum kita. Pekerjaan semacam ini sebenarnya tidak memberatkan kamu.  Suruhlah salah seorang puterimu menemui sekelompok kaum kita dan  memberitahu mereka akan adanya lelaki tampan di rumahmu. Dengan  demikian, engkau akan memperoleh emas atau perak sebagai hadiahnya  setiap kali engkau kerjakan itu. Bukankah pekerjaan itu amat mudah  bagimu? Dengan itu, engkau bersama puteri-puterimu dapat merasakan  kenikmatan sesuai dengan apa yang kalian kehendaki.”
 Sambil mengakhiri ucapannya, perempuan tua itu  meletakkan dua keping perak di tangan Wa’ilah, dan kemudian segera  keluar. Isteri Nabi Luth duduk sambil merenungkan peristiwa yang baru  terjadi itu tentang keadaan pekerjaan yang dicadangkan oleh si perempuan  tuan. Dan… ia kebingungan sambil berputar-putar di sekitar rumahnya.  Suara perempuan tua itu masih terngiang-ngiang di telinganya, sementara  di tangannya terselit dua keping perak. Wa’ilah dibayangi keraguan  apakah sebaiknya ia terima saja saranan perempuan tua itu. Tetapi, apa  yang akan dikatakan orang nanti tentang dirinya jika hal itu ia lakukan;  bahwa isteri seorang yang mengaku sebagai Rasul Allah dan menyerukan  kebajikan, ternyata, menolong kaumnya dalam melakukan kebatilan.
Tiba-tiba datang suara yang membisikkan ke  telinganya: “Perempuan tua itu telah menasihatimu. Ia tidak mengharapkan  sesuatu kecuali kebaikan dan kebahagiaan bagimu. Kamu tidak  bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh kaummu. Dan lagi pekerjaan  yang dicadangkan perempuan tua itu sama sekali tidak memberatkanmu.  Kamu hanya memberitahu mereka tentang kedatangan tamu-tamu suamimu,  Luth. Lekaslah… lekaslah… nanti akan kukatakan… lekas, supaya engkau  memperoleh kekayaan dan kenikmatan… Cepatlah…!” Dan tiba-tiba, tanpa  ragu-ragu, Wa’ilah berkata: “Baiklah, kuterima…”
 “Kalau begitu, selamat kuucapkan kepadamu,”  demikian Iblis membisikkan kepadanya.” Sesudah ini engkau akan merasakan  kenikmatan di dalam kehidupanmu…”
Nabi Luth kembali kepada penduduk desa yang berada  di sekitar Sadom untuk menyerukan kebenaran Ilahi sesuai dengan perintah  Allah kepadanya. “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan tercela itu,  yang belum pernah diperbuat oleh seorangpun di dunia ini sebelum kalian?  Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian  bukan kepada wanita, bahkan kalian ini adalah kaum yang melampaui  batas.”
 Perlawanan penduduk Sadom terhadap dakwah  kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Luth kepada mereka membuat  kesedihan dan kedukaan di hati Nabi Luth sendiri. Betapa kaumnya tidak  mahu menerima kebenaran dan tidak menghendaki diri mereka bersih dari  perangai yang hina dan merusakkan itu.
Hari demi hari berlalu. Setiap isteri Nabi Luth  melihat beberapa lelaki datang ke rumahnya, ia segera memberi tahu  kaumnya tentang hal itu dan setiap kali berita yang dibawanya sampai  kepada kaumnya si perempuan tua datang kepadanya dengan membawa sepotong  perak seraya berkata: “Jika engkau selalu menolong kami, nescaya engkau  akan dapatkan terus sekeping perak, sementara suamimu tidak dapat  menyeru kepadanya.” Wajah perempuan tua itu tertawa seperti tawa  syaitan, kemudian pergi…
 Sementara itu, seruan Nabi Luth kepada kaumnya  tidak menambah apa-apa kecuali perlawanan dan kesombongan. Mereka tetap  selalu berpaling dari ajakan suci itu. Bahkan mereka terus-menerus  melakukan perbuatan keji tatkala Nabi Luth memperingatkan akan datangnya  seksa Allah atas mereka apabila mereka tidak mahu berhenti dari  kesesatannya. Mereka malah menentang Nabi Luth dengan berkata:  “Datangkanlah kepada kami azab dari Allah, jika kamu termasuk  orang-orang yang benar.” Maka, Nabi Luth pun memohon kepada Allah, agar  Allah menolongnya dari kaumnya.
 Nabi Luth berdoa: “Ya, Tuhanku, tolonglah aku  (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu.”  (Al-Ankabut: 30) Allah memperkenankan doa Nabi Luth as, dan mengutus  Jibril as. untuk membinasakan mereka. Jibril datang ke Negeri Sadom  dengan menyerupai dua orang lelaki yang tampan. “Dia (Luth) merasa susah  dan sempit dadanya karena kedatangan mereka. Dan ia berkata: “Ini  adalah hari yang amat sulit.” (Hud: 77)
 Nabi Luth as. cemas memikirkan apa yang bakal  diperbuat kaumnya jika mereka mengetahui kedatangan tamu lelaki yang  berwajah `cantik’ di rumahnya. Bagaimana ia dapat mempertahankan dan  memelihara mereka dari kemungkaran kaumnya? Ah, bukankah tidak ada yang  mengetahui kedatangan mereka, kecuali dia sendiri, dan kedua puterinya?  Sebaliknya kedatangan kedua tamu Nabi Luth itu merupakan kesempatan bagi  isterinya untuk menambah kepingan-kepingan perak yang biasa ia perolehi  dari si wanita tua. Sekarang, ia harus mengutus seseorang kepada  kaumnya untuk memberitahu mereka. Tetapi kedua puterinya sedang sibuk  menyiapkan hidangan bagi kedua tamu ayahnya, atas perintah Nabi Luth.  Karena keinginannya yang mendesak, isteri Luth akhirnya memberi isyarat  kepada salah seorang puterinya untuk mendekat. Kemudian ia membiisikkan  beberapa kalimat ke telinga anak perempuannya itu. Sesaat kemudian, sang  puteri segera keluar rumah untuk memberitahu kaumnya, sebagaimana  biasa.
 Di tengah-tengah kerumunan orang ramai anak  Nabi Luth melihat seorang perempuan tua melambaikan tangan sambil  mengisyaratkan panggilan kepadanya. Segera ia mendekati perempuan itu  dan memberitahu tentang dua lelaki tampan yang datang ke rumahnya.
 Perempuan tua itu kemudian menyuruh ia cepat  pulang, sementara kelompok lelaki menghampiri seraya bertanya: “Apakah  yang terjadi? Apakah ada berita baru?” Wajah si perempuan tua  menampakkan senyum tipuan sambil berkata: “Kali ini tidak kurang dari  empat potong emas harus kuterima.”
 Dengan bersemangat kaumnya bertanya: “Apakah yang terjadi? Apakah ada yang istimewa?”
Perempuan itu berkata kepada mereka, sementara ia  membuka matanya lebar-lebar disertai syaitan. “Kalian akan memperoleh  apa yang kalian kehendaki, iaitu dua orang lelaki yang berwajah  `tampan’. Dengan wajah buas dan bernafsu, mereka bertanya dengan tidak  sabar. “Di mana mereka? Di mana lelaki berwajah `tampan’ itu?
“Berikan harta kepadaku terlebih dahulu,  barulah kuberi tahu kalian!” Katanya. Sebahagian dari mereka menyahut:  “Wahai wanita tua, engkau yang tamak, tidak pernah kenyang!” Dan  sebahagian yang lain berkata: “Inilah harta untukmu, tetapi cepat  katakan, di mana lelaki yang berwajah `tampan’ itu?” Setelah tangannya  menggenggam emas, berkatalah perempuan tua itu kepada mereka. “Mereka  ada di rumah Luth…” Hampir-hampir kaumnya tidak mendengar ucapan  perempuan tua itu dengan jelas. Tetapi, sesaat kemudian, mereka  berlumba-lumba untuk segera datang ke rumah Nabi Luth. Masing-masing  ingin memperoleh kepuasan dari dua lelaki `tampan’ yang ada di rumah  Luth. Sesampainya mereka di sana, didapati pintu rumah Nabi Luth  tertutup. Segeralah mereka mengetuk keras sambil berteriak. “Bukakan,  Luth bukalah pintu-pintumu! Kalau tidak, kami terpaksa akan  memecahkannya!” Isteri Nabi Luth mencuba menemui suaminya yang ternyata  telah meninggalkan kedua tamunya di dalam kamar, sementara ia sendiri  mendekati pintu rumahnya yang tertutup dan memisahkan dia dengan  sekumpulan kaumnya. Isteri Nabi Luth mengintai dari balik tirai. Hatinya  melonjak kegirangan. Sebentar lagi ia bakal memperoleh sepotong perak  dari si perempuan tua, sesuai dengan kebiasaan yang telah berlangsung  selama ini. Bahkan di samping itu, tanpa diketahuinya, ia mungkin bakal  memperoleh pula sepotong emas sebagai bonus. Teriakan kaum Luth  bertambah keras dan garang. Mereka tak sabar dan ingin memecah pintu  agar dapat masuk dan menemui tamu-tamu Nabi Luth. Apakah yang akan  dikatakan oleh Nabi Luth atas tindakan kebengisan yang diperbuat oleh  naluri haiwan kaumnya yang rendah itu?
 Nabi Luth pun berdiri terpaku; hanya pintu yang  memisahkannya dari kaum durjana itu. Sesaat kemudian, Nabi Luth berkata  kepada mereka demi menenangkan keadaan: “Hai, kaumku, inilah  puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu. Maka, bertakwalah kepada  Allah dan janganlah kamu mencemarkan namaku di hadapan tamuku. Tidak  adakah di antaramu seorang yang dapat menbedakan baik dan buruk. Ya,  orang-orang yang berakal ketika itu telah dihinggapi fikiran-fikiran  hewan yang rendah, sehingga nafsu mereka sulit dibendung.
 Luth kemudian kembali menegaskan permohonannya  kepada kaumnya itu, sedangkan isterinya mengintip tidak jauh dari situ.  Nabi Luth menawarkan kepada mereka untuk mengawini puteri-puterinya,  tetapi dengan serentak mereka menjawab: “Sesungguhnya engkau telah tahu  bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan  sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.”  Sampai di sini, dialog antara Nabi Luth dan kaumnya terputus. Nabi Luth  kemudian berfikir, apakah yang akan ia lakukan jika kaumnya memecah  pintu rumahnya dan masuk untuk melampiaskan nafsu syaitannya kepada dua  orang tamunya. Ia berdiri kebingungan, sedangkan isterinya memandangnya  dengan pandangan khianat. Tiba-tiba tamu Nabi Luth berkata kepadanya:  “Sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu; sekali-kali mereka  tidak dapat mengganggu engkau.” Kalau begitu, tamu-tamu Nabi Luth adalah  utusan-utusan Allah yang datang untuk menimpakan azab kepada penduduk  Negeri Sadom yang berbuat kerusakan itu. Mendengar semua itu, isteri  Nabi Luth merasa khuatir, karena ia akan gagal memperoleh harta yang  selalu diingininya itu. Kebatilan dan pelakunya memang tidak akan pernah  kekal, dan kini seksa sedang menghampiri mereka. Berkata utusan-utusan  Allah itu kepada Nabi Luth: “Bukakan pintu, dan tinggalkan kami bersama  mereka!”
Maka, Nabi Luth pun membuka pintu rumahnya.  Isteri Nabi Luth merasa cemas tatkala melihat serombongan kaumnya  menyerbu masuk dengan penuh kegilaan, dan segera menuju ke arah  tamu-tamu Nabi Luth. Ketika itulah, Jibril menunjukkan kelebihannya. Ia  mengembangkan kedua sayapnya dan memukul orang-orang durjana itu.  akhirnya, mata mereka, tanpa kecuali, buta seketika. Dengan berteriak  kesakitan, mereka semua menghendap-hendap dan bingung, kemana mereka  harus berjalan. Bertanyalah Nabi Luth kepada Malaikat Jibril: “Apakah  kaumku akan dibinasakan saat ini juga?” Malaikat Jibril memberitahu  bahwa azab akan ditimpakan kepada kaum Nabi Luth pada waktu Subuh nanti.  Mendengar itu, Nabi Luth segera berfikir, bukankah waktu Subuh sudah  dekat. Jibril memerintahkan Nabi Luth agar pergi dengan membawa  keluarganya pada akhir malam nanti. Semua keluarga Nabi Luth pada malam  itu pergi bersamanya ke luar kota, kecuali Wa’ilah. Isterinya itu bukan  lagi termasuk keluarganya yang beriman kepada risalah Allah yang  dibawanya. Sebaliknya, Isteri Nabi Luth justeru telah membantu  orang-orang yang berbuat kerosakan, dan ia harus menerima akibatnya.  Maka, turunlah azab atas dirinya, bersama semua kaum Nabi Luth yang  ingkar, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam Kitab Suci  Al-Quran: “Maka, tatkala datang azab Kami, Kami balikkan (kota itu), dan  Kami turunkan di atasnya hujan batu, (seperti) tanah liat dibakar  bertubi-tubi. Diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan seksaan itu tiadalah jauh  dari orang-orang yang zalim.” Maha Benar Allah lagi Maha Agung.
p/s: sedangkan nabi luth a.s. juga dikhianati oleh isteri dan anaknya...

 
 
No comments:
Post a Comment